Jumat, 11 Juli 2014

Bagawatgita

Rahasia dari bibirku yang menyimpan
bau hujan, di tepi-tepi bulan terbenam
seperempat cemas merentangkan tangannya pada
lentik alis malam, dengan kerecik yang
merincis sisa malam yang rabun
sekercit syair yang gemetar dalam
gigil sempurna, mencucuki bola
mataku yang ranum menatapi
monolit seekor kunang-kunang berkelebat
dalam pucat malam.

"Apakah yang telah memautkan kita selain kata, bagi penyair, setiap kata prahara belaka" 
Malam telah dihidang dalam celah
kalimat sebuah sajak ke pundak keributan saat
petang lengang itu, dan petang mengingsut sulur ingatan
sembari merapal doa dan melongok pada
tingkap petang antariksa, di alis hampa udara
dalam doa-doa yang terkurung dalam
bilik kata-kata pada tiap
lembar-lembar kosong malam yang kian beruban

Membisiknya seteguk sajak, sealir syair yang
merembesi rembulan dari sela-sela kornea matamu
dulu, yang berulang-ulang bergaung lalu mendadak
canggung dan bingung, merajut harakat
ingatan-ingatan kecut yang tak tanggung
di gulung dan pergi tak pernah berbagi
lagi, adalah kata-kata "membalut luka
setelah kisah" seperti langit senantiasa
berbasa-basi pada malam. Lalu menghidu
keinginan lain dari sisa-sisa gelap. Namun
menyala ketika citramu memudar murung.

"Aneh, kau menemukannya tanpa runut lain di belakangnya tanpa siang sepi."
Aneh runut selanjutnya tidak wajar
sepertinya "aneh" itu mengandung kepastian
tapi sebenarnya tidak, hanya untuk mengikis rasa
malu karena menghindari kewajiban. Sebelum
terkikis, keraguan melilit. Setelah terkikis,
kekalutan memagut, dan terbakar dalam
beku sajadah dalam nadiku berbaur dengan
desah doa-doa tersasar di sebelum subuh
yang ranum muncul perlahan di sisa hangat
setiap mimpi-mimpi.

-Bogor, 2014-