Minggu, 29 Maret 2015

Dadu

/1/
Biarkan kepalamu hangat di tenggarang. Agar dapat kita kumpulkan uapnya dalam cawan gerimis. Gerimis saja, agar dapat kita hemat untuk jamuan berikutnya. Sebenarnya, tenggarang ini telah aku panaskan sejak matamu lekat di jidadku yang tak semanis jidadmu. Dan kusimpan panasnya sambil memiuh dingin, mereguk angin, angin dan dingin, angin dari dingin.
/2/
Istriku baru bersalin minggu lalu, setelah sesuku jam aku menantikannya didepan pintu sambil mengalas perut yg kalut tidak karuan. Seonggok daging yg menangis serupa kaing-kaing yang seolah terjepit diketiak dukun beranak. Membuatku mengusap mulutku pada pantalon biru yang istriku jahitkan runut senyum di bibir pasinya, yang kini mulai mudar warnanya, disapu puisi dalam pikiranku. Dia berkata ;
" Peci aba kupat dikepalamu, tapi bajunya pas di pikiranmu."
/3/
Rahasia resep Tuhan dalam puisiku :
Sebaiknya kau menulis puisi sejak dalam tidurmu. Agar hujan yang rontok dalam mimpimu, terjaga kedalam jingkrungku. sajak tumpas bantal menggantung dikelopak matamu, yang dituliskannya secara rapi dan tipis. Setipis kulit ari-ari dalam narasi ' Manakala jasadmu pucat pasi'. Dalam secangkir kopi, aku mencelupkan jari manisku dan mengaduk bubuhan huruf yang belum larut menjadi kalimat dan jingkur. Aku menitipkan jingkrungku dalam jingkrungmu. Agar setiap sajak dalam jingkrungmu, Tuhanku mengAmiinkannya.
/4/
Hari ini aku akan bersiwak
sebelum kau siwak epitafku
/5/
Kami adalah buku harian yang rapuh. Meminum ceritamu yang hanyut didalam cangkir. Setiap tegukannya kami selalu siap, bilamana Izrail bersiap dengan pisau kukumu. Kami tau bila tubuh kami akan dipotong kecil-kecil, dan dibuang dalam pikiranmu. Didalam pikiran itu kami menyaru seperti buku, menuliskan rahasiamu pada botol-botol waktu. Bahkan rapalanmu selalu kami ingat. Dan kami berusaha mengkremasi diri kami sendiri. Agar kami jadi seperti yang kau rapalkan. Menjadi sarung yang membedung ceritamu dari surat kemeja.
/6/
Harap kau tahu
Pada setiap titik dadu
Jangan kau samakan dengan darahmu.
- Bogor, 2015 -

0 komentar: