Jalanlah hari
minggu, lihat
Almanak dinding
yang setengah terbakar
Jalanlah bila
merayap di angka 14
Malam menyuruki
liang langit dengan peruk.
Ini malam puisi atau
puisi ini malam.
Dari buku yang
kubaca, pernikahan sebuah
puisi tidak lebih
dari sekadar menggabungkan
kata-kata. Kata yang
mengecup kaki
angin dalam perahu
yang berlayar
kemeja Tuhan,
lengkap
dengan getah anagram
dalam mangkuknya.
Pada jas dan gaun,
bahu lekat di lekuknya.
Seakan jas dan gaun
itu langsung dijahitnya
ke badan huruf,
setelah disadapnya
getah kata yang
ditampungnya dari
pohon para, dan
disetrika dengan
hangat yang
direguknya dari uap kopi.
Yang sepi, sesepi
kopi dalam pikiran pengunjung.
Mereka seperti
menyaru dengan anggur,
anggur tahunan 1893
dari botol-botol
waktu yang siap
mengupar bentuknya di bait Tuhan.
Tak mungkin jadi
sampai demikian benar,
mata mereka yang
awas, awas benar,
seakan paham dapat
dibaca, seperti membaca
koran, seraya
menunggu acara pemasangan
anapes ( cincin dari
adat puisi ).
mempelai melenggang
canggung ke baris
pertama di bait
pertama. Seakan asing akan
baris itu. Anapes
dikeluarkan dari masing-masing
kantung lambung.
Yang telah dirangkainya
secara pelan-pelan,
biar sepatah demi sepatah
agar menjalari
segala saraf-saraf hurufnya.
Kedalam segelas
anggur anapes itu
meluruh dan menguap.
Sehingga
mereka menghidu
aroma seperti rasa lapar.
Para pengunjung
sibuk menghabiskan
surat anggur dalam
surat gelas.
Sambil melemparkan
tawa rintik-rintik
disela kornea mata
bulan.
Menghidu secangkir
aroma
kopi. Dan asapnya
yang mengepul
dari bawah hidung.
Dari balik
cangkir kopi aku
mencalang.
Mempelai sedang
bercermin dalam segelas
anggur, seperti
ingin melihat huruf demi
huruf yang berangsur
menyusun kalimat
hingga menjadi
sebuah sajak baru.
Yang aku pikirkan,
bagaimana membedakan
laki-laki dan
perempuan ?
Apakah puisi
mempunyai jenis kelamin ?
Kukira yang
laki-laki melayang
dan berkata ;
“ hiduplah ! ”
Aku pulang dulu,
boneka tua telah
menyinyiriku untuk
pulang dan mengemulkan diriku.
Sudah larut malam
bagi penyair sepertiku.
Kuharap putri malam
datang menjemputku
dengan binar
dimatanya. Sehingga aku tak
harus bermain
kejar-kejaran dengan bayangan.
Tapi, bolehlah aku
kesini lagi,
melihat anak puisi
yang terlahir dari
kaki-kaki para
pengunjung. Puisi kecil,
huruf kecil, serupa
gigi barunya yang
kecil-kecil, yang
tumbuh dengan demam,
belum bisa membaca,
tapi hanya bisa mengeja.
A... Ba... Ta....
- Bogor, 14 Februari
2015 -
0 komentar:
Posting Komentar