Sabtu, 14 Februari 2015

Selter Puisi

Jalanlah hari minggu, lihat
Almanak dinding yang setengah terbakar
Jalanlah bila merayap di angka 14

Malam menyuruki liang langit dengan peruk.
Ini malam puisi atau puisi ini malam.
Dari buku yang kubaca, pernikahan sebuah
puisi tidak lebih dari sekadar menggabungkan
kata-kata. Kata yang mengecup kaki
angin dalam perahu yang berlayar
kemeja Tuhan, lengkap
dengan getah anagram dalam mangkuknya.
Pada jas dan gaun, bahu lekat di lekuknya.
Seakan jas dan gaun itu langsung dijahitnya
ke badan huruf, setelah disadapnya
getah kata yang ditampungnya dari
pohon para, dan disetrika dengan
hangat yang direguknya dari uap kopi.

Yang sepi, sesepi kopi dalam pikiran pengunjung.
Mereka seperti menyaru dengan anggur,
anggur tahunan 1893 dari botol-botol
waktu yang siap mengupar bentuknya di bait Tuhan.
Tak mungkin jadi sampai demikian benar,
mata mereka yang awas, awas benar,
seakan paham dapat dibaca, seperti membaca
koran, seraya menunggu acara pemasangan
anapes ( cincin dari adat puisi ).
mempelai melenggang canggung ke baris
pertama di bait pertama. Seakan asing akan
baris itu. Anapes dikeluarkan dari masing-masing
kantung lambung. Yang telah dirangkainya
secara pelan-pelan, biar sepatah demi sepatah
agar menjalari segala saraf-saraf hurufnya.
Kedalam segelas anggur anapes itu
meluruh dan menguap. Sehingga
mereka menghidu aroma seperti rasa lapar.

Para pengunjung sibuk menghabiskan
surat anggur dalam surat gelas.
Sambil melemparkan tawa rintik-rintik
disela kornea mata bulan.
Menghidu secangkir aroma
kopi. Dan asapnya yang mengepul
dari bawah hidung. Dari balik
cangkir kopi aku mencalang.
Mempelai sedang bercermin dalam segelas
anggur, seperti ingin melihat huruf demi
huruf yang berangsur menyusun kalimat
hingga menjadi sebuah sajak baru.
Yang aku pikirkan, bagaimana membedakan
laki-laki dan perempuan ?
Apakah puisi mempunyai jenis kelamin ?
Kukira yang laki-laki melayang
dan berkata ;
“ hiduplah ! ”

Aku pulang dulu, boneka tua telah
menyinyiriku untuk pulang dan mengemulkan diriku.
Sudah larut malam bagi penyair sepertiku.
Kuharap putri malam datang menjemputku
dengan binar dimatanya. Sehingga aku tak
harus bermain kejar-kejaran dengan bayangan.
Tapi, bolehlah aku kesini lagi,
melihat anak puisi yang terlahir dari
kaki-kaki para pengunjung. Puisi kecil,
huruf kecil, serupa gigi barunya yang
kecil-kecil, yang tumbuh dengan demam,
belum bisa membaca, tapi hanya bisa mengeja.
A... Ba... Ta....



- Bogor, 14 Februari 2015 -

0 komentar: