Jumat, 26 Desember 2014

Sepatu

Kemarin aku baru pulang dari loak,
membawa sepatu dari loakan. Sepatunya
rada bagus, hanya kurang rima pada
warnanya, juga artikulasi pada mereknya.
Sudah lama aku ngidam sepatu ini,
tiap pagi aku pergi ke tengah kebun dan
mengumpulkan embun pada botol-botol
waktu. Bisikan rahasiamu pada botol itu
aku pindahkan dalam secangkir kopi
yang adzan mengapung diatasnya,
agar bisa kunikmati sambil mojok di
depan cermin, di depan halusinasi.

Aku menjual embun itu ketika Tuhan sedang
libur, sambil menulis puisi dan minum kopi.
Pada cangkir kopinya aku mengetuk, minta
berkah pada embun-embun yang ku jual
untuk pemabuk gila di warung kopi agar
uangnya bisa untuk beli sepatu, sepatu
yang membantu ibu menanak kata-kata
untuk dijadikannya sajak pada keningnya.

Tuhan sedang membaca sajak kita
Sajak yang kita tanak dengan sepatu

Seringkali aku mencelaki embun itu dengan
sajak di kening ibu, agar mereka juga bisa membaca
larik-larik yang ditanak ibu. Terkadang
pula embun-embun itu tak tersentuh sehingga
aku menyaru dalam pikiran, pikiran yang mengembun,
aku ikut mengembun. Aku panggil-panggil pemabuk itu
agar meminum embun, dan menyaru dalam pikiran mereka.
Ibu menyulut kepalaku dari bawah kakinya, aku menguap,
menguap dari botol, menguap dari pikiran. Ibu berkata ;
“ Kau tak perlu mengembun, pemabuk itu telah minum
embun sejak dalam pikiran mereka, uangnya dititipkan
dicangkir Tuhan, agar kau bisa kencan dengan-Nya”

Warung tutup ketika aku dan senja
tak ayal untuk pulang, pulang pada rumah
kata, kata pada sepatu. Aku titip salam pada
pemabuk gila itu lewat weling di pintu warungku,
meninggalkan embun kesukaannya dan pamit pulang.
Aku ingin kencan dengan Tuhan dulu,
berterimakasih atas berkahnya pada embunku
dan menyuguhi kopi pada cangkirnya. Kalau
Tuhan mau, aku juga punya sajak-sajak
yang kutanak dengan sepatu baruku. Baru
tapi bekas, bekas tapi baru, Tuhan yang baru,
aku yang bekas, senja bekas di langit
dalam cermin yang berangsur meluruh.



- Bogor, 2014 -


0 komentar: