Senin, 22 Desember 2014

Ibu : Dalam Puisi


  : untuk ibu

Menjadi seorang penyair itu mudah,
kau tinggal membuat secangkir kata dan
mencicipinya. Terkadang dalam cangkirmu
kau lupa membubuhkan kata “tutup”
Sehingga kau tak bisa pulang dengan lampu
yang redup. Ibuku penyair hebat, dia rajin
memungut kata-kata yang jatuh di jalanan
dan membubuhkannya kedalam cangkir kataku,
dia berkata “ Bentuk aku dalam puisimu ”

Terkadang ibuku adalah sajak yang menemani
sajakku yang sedang duduk melamun diatas
batu pada sungai-sungai pikiranku. Gerimis yang rontok
di sungai-sungai, membuatku mengombak, hingga
mengenai sajaknya, beberapa kata yang dia pungut
hilang mengalir dalam kerongkonganku. Tapi dia
selalu memungut kata yang baru dan disimpan
kedalam matanya. Entah apa yang diperbuatnya
terhadap kata-kata itu, sehingga kata-kata itu
menyerupai lensa puisi matanya.

Suatu malam aku pernah melihat ibuku
mengeluarkan bundalan rubaiatnya. Bundalannya
tebal-tebal, setebal judul rubaiatnya. Pada suatu
judul aku bertamasya. Berjalan pada huruf-huruf
rubaiatnya. Yang akhirnya tersusun kata pada
judulnya “ Anakku : bubuhan kata terbaik untukmu ”
isi rubaiatnya tidak terlalu panjang, hanya sepanjang
kulit ari-ari. Beberapa kata hilang, sehingga aku
mencalangnya dalam kata-kataku, pada akhirnya
aku pelan-pelan berjalan pada baris terakhirnya.
“ Puisi di dalam aku, sebagian kata tertinggal di puisimu ”


- Bogor, 2014 -



0 komentar: