Senin, 13 Oktober 2014

PEKAT

Anak yang lahir dalam puisi, adalah
getar saraf lilin di kelip mata hitammu.
Yang kerlingnya menyulut larik demi
larik dari setiap sajak penyair, ketika
ia lebih tahu kepada jari yang rajin
menyimak untuk menunggu gerhana yang
sedang berdoa dalam sepotong senja yang
mengintip di balik awan separuh mekar.


Kucari kau dengan sudut matamu, berkilauan terkena bulan...


Putri malam datang membawa pendar purnama
dan seuntai senyum di bibir pucatnya menemani
sajak-sajakku. Bahkan membuat aku tidak jemu
tergeletak di matanya yang gumintang.
Dan diwaktu yang pekat, wajah putri malam
selaras dengan telekung yang di beri Tuhan
pada pekat malam. Titah bulan yang seakan turun
mendekati kepala malam yang merayap dari
keringat waktu yang meleleh seperti lilin,
di lekuk dekik wajahnya dengung tasbih dan
tahmid kerap di gumamnya satu suara yang terdengar
begitu ringan, seperti menyebar di udara
dan menyintas telinga-telinga pekat keringat.


Bila pula pendar bola matanya masih bergumintang,
ada yang meloncat dari tubuhku, tapi selain sepi, dan
semua seolah sembunyi yang selalu bergaung di
pekan ruang tubuhku dalam bait-bait sajadah
yang melamar Tuhan di sepertiga waktu yang pekat.


Bila kau tanya dimana ruh mu putri malam...
ruh mu sedang ku pinjam untuk bersajak malam ini...


- Bogor, 2014 -

0 komentar: