Anak
yang lahir dalam puisi, adalah
Yang
kerlingnya menyulut larik demi
larik
dari setiap sajak penyair, ketika
ia
lebih tahu kepada jari yang rajin
menyimak
untuk menunggu gerhana yang
sedang
berdoa dalam sepotong senja yang
mengintip
di balik awan separuh mekar.
Kucari
kau dengan sudut matamu, berkilauan terkena bulan...
Putri
malam datang membawa pendar purnama
dan
seuntai senyum di bibir pucatnya menemani
sajak-sajakku.
Bahkan membuat aku tidak jemu
tergeletak
di matanya yang gumintang.
Dan
diwaktu yang pekat, wajah putri malam
selaras
dengan telekung yang di beri Tuhan
pada
pekat malam. Titah bulan yang seakan turun
mendekati
kepala malam yang merayap dari
keringat
waktu yang meleleh seperti lilin,
di
lekuk dekik wajahnya dengung tasbih dan
tahmid
kerap di gumamnya satu suara yang terdengar
begitu
ringan, seperti menyebar di udara
dan
menyintas telinga-telinga pekat keringat.
Bila
pula pendar bola matanya masih bergumintang,
ada
yang meloncat dari tubuhku, tapi selain sepi, dan
semua
seolah sembunyi yang selalu bergaung di
pekan
ruang tubuhku dalam bait-bait sajadah
yang
melamar Tuhan di sepertiga waktu yang pekat.
Bila
kau tanya dimana ruh mu putri malam...
ruh
mu sedang ku pinjam untuk bersajak malam ini...
-
Bogor, 2014 -
0 komentar:
Posting Komentar