Jumat, 04 Desember 2015

PUANKU

Pelengkap buah bibir harum memancar
dari ruhnya menemukan kepalanya
terpiuh ke dahan-dahan yang lampau.
Segala rahasia telah diurai gerimis air
yang rontok selepas sembahyang petang.
Padanya aku merupa do'a agar tampak
aku tengah menulis tentang tarian takdir
dari pada warna kelahiranku. Setiap
biku-biku kini menjadi hidup yang punya peluang
membaca berlarut-larut sampai tengah malam.

          Urai bedanya,
          Tempat suci selalu dibangun dalam dimensi suci.

Kisahnya ;
Tidak ada kehidupan dilapangan, daerah
yang paling menakutkan. Seharusnya
dalam semalam bisa kulewati dalam 7-8 menit
kepatuhan tanpa syarat. Tapi aku
seperti medan renungan diatas kanvas
dengan walking chair, seolah mendengar
nyanyian bintang kecil lalu pulas tertidur
diatas gugusan makna yang lebih cair
dari otakku yang berlagak melampaui
segala helai pada halamannya.

Kini aku menulismu.
Bibirku berlagak lugu tentangmu dengan
senyum gula-gula yang mungil
tergolek dibawah lampu meja menghirup
wangi sisa hujan. Dan pujangga lain
yang melukis puan-puan mereka
dalam sajaknya, sedang aku merapal puanku
karena aku selalu gugup pada sisi indahnya
dan tak sempat mengeja dalam sajak.

          "Anwar mengajariku bagaimana cara mencintai 
            puan, agar tak sama dengan dirinya, 
            mati meninggalkan puan terpuannya"


Jatinangor, 2015

0 komentar: