Tak terhitung entah berapa kali aku memanggilmu “Bunda”
hingga membuahkan sebuah rumah kaca yang butuh tanda
kehidupan. Tapi ia hanya sempat memberi tanda di keningku.
Sebenarnya aku adalah perajuk yang cengeng air mataku
tumpah dari kaki, sepertinya air mataku tak semahal senyummu.
Senyummu yang manis semanis jidadmu. Tak perlu kau berkaca,
Karena mataku sudah mengaca agar kau tak ayal untuk membaca.
Boleh kau tau, rahasia ini memasuki darahku, air mataku jadi alir yang
Bergerak dari hulu kehilir. Dan aku bias matahari merupa doa yang senyap
Malam malam. Dan padanya pula aku memilih gantung diri dan mati sebelum pagi.
Karena…
Doaku memanggilmu Bunda…
Bukan keinginan hasrat yang diutus kedewasaan zaman…
Sepulang dari berdoa aku menyantap hidangan Tuhan, Tuhan menjamuku
dengan surat kabar pagi yang Ia tahu bahwa aku belum makan dari pagi.
Agar kuhabiskan cepat cepat sebelum beritanya loncat loncat, yang aku dapat
bahwa hidup terkadang harus bunuh diri, agar tampak lebih keren dengan balutan
kantong oren untuk mayatku. Yang aku pikirkan bagaimana sehebat itu mayatku,
lebih pantas mayatku dibungkus koran agar tampak seperti makanan untuk bekal
pemulung koran yang aku tahu bahwa nasibnya lebih indah dari nasibku.
Aih mak, jauh sekali aku memikirkan mayatku,
sedangkan Tuhan dengan mimik bingung menatapku dalam.
“Dimana seriosmu?”
“Dia sudah jatuh kemarin dengan penuh luka dan aku kuburkan”
Dua detik kemudian aku terbelenggu dalam ucapanku.
Bagaimana aku menguburkannya?
Tiga detik kemudian aku bercerita.
“Tadi pagi ada yang bunuh diri dengan tali kata, dia mati menggigil.
Lalu jasadnya dibungkus koran agar pemulung mengambilnya karena
Nasib pemulung lebih baik dari nasibnya. Aku pikir dia bodoh sekali
Mati hanya karena koran. “
Tuhan hanya senyum saja Dia tahu bahwa aku pembohong yang buruk.
Lalu aku pamit pulang dan sedikit menghidu uap kopiNya.
Empat hari berselang aku bunuh diri. Bukan dengan tali karena aku takut menggigil
Tapi aku terjun dari lantai satu karena aku takut ketinggian. Dan ruhku tersenyum
Melihat jasadku dibungkus koran. Dan dipungut pemulung koran.
Yang aku lihat pemulung itu merupa diriku, lalu dia menguburkanku
dihalaman pembacanya. Seraya berkata;
“Nasibmu begitu indah, tak seindah nasibku yang berulang kali
Mengecap jasadmu. Ku kuburkan kau seperti serios ku agar kau bingung”
Lalu dia melepas topinya dan pulang setelah berdoa
Karena Tuhan telah menjamunya dengan surat kabar pagi.
Karena ia belum makan dari pagi.
Aku bukan mati karena koran…
Tapi aku mati karena kau tak lagi memanggilku…
Jatinangor, 2015
0 komentar:
Posting Komentar