Kau adalah biji kopi yang
kutanam
dengan rasa rindu yang
paling mendalam.
Dan buku-buku yang
membaca mataku
melihat kau sedang terkekang
rindu
karena baris dari
puisiku akan menjadi sebuah pertanyaanmu
kau adalah jalan yang
pernah kulupakan,
yang kerap
mengisahkanku
tentang ingatan yang
mengelilingi tiap sudut jalanmu
dan pada cangkir
yang belum sempat kau
tuang dengan rasa pahit kopimu.
akulah petani kopi,
Tiap rindu yang kutanam
dalam hatimu
Dengan warna manis dan
pahit yang diundi.
adakah yang kau anggap
puisi hanya menyusun baris dan menciptakan takdir?
Aku lebih keras
menentang takdirku
Dan kau tahu?
Tentu saja Tuhan selalu
menang jika berjudi.
Aku hanya ikan kecilnya
Yang berusaha keluar
dari akuarium.
Dan tumbuh seperti
pohon diberanda
Tempat kita berpikir
dengan cangkir-cangkir pahitmu.
Aku tahu,
Kau belum bertanya
tentang baris puisiku.
Karena setiap kata yang
membaca matamu
Semakin membuatmu
menjadi tukang kebunku.
Belakangan naskah lama
berubah warna
Kian mendung
Dari tempat yang jauh,
kau menulis puisi
Dengan diksi yang
berulang-ulang
“Aku mengingatnya ! Aku
mengingatnya!”
Ada apa dengan hujan
yang deras dikotaku?
Dan ada apa dengan
ekor-ekor anjingku?
Apakah kau sadar setiap kata, ada huruf
yang saling berkaitan?
Lalu,
Apakah kau sudah
bertanya tentang baris-barisku?
Maksudnya?
(Jatinangor, 2018)
1 komentar:
NiceOne Rob, Good Luck
Posting Komentar